Era sosial media saat ini pada akhirnya
turut merubah kebahagiaan seseorang dalam membuat
sebuah karya. Penghargaan saat ini pun
tak lagi mesti harus ditujukkan
dengan cara memuji secara langsung ataupun memberi sebuah kompensasi berupa materi semata. Namun kebanggaan dan kebahagiaan atas sebuah karya
saat ini beralih
trendnya menuju kebanggaan sebuah like di
sosial media.
Mengutip harian republika yang memaparkan tentang penelitian yang di
lakukan oleh para ilmuan UCLA Brain
Mapping Centre yang menemukan
bahwa, para remaja tren kebahagiaannya mulai bergeser,
dari yang mendapatan
kebahagiaan hanya dari sekedar memakan coklat, beralih kepada foto mereka yang telah di like di
sosial media. Pada studi
tersebut para peneliti melakukan pengamatan terhadap 32 remaja dengan
rentang umur 13-18 tahun,
yang menampilkan foto mereka
di aneka jejaring sosial. mereka di
instruksikan untuk melihat
foto mereka yang mendapatkan
aneka like berbeda. Dimana terdapat beragam aktivitas ketika melihat foto dengan
like terbanyak dan tak
tampak di beberapa
bagian otak seperti sebelumnya ketika melihat foto dengan like sedikit (5/6/16).
Dari hasil sederhana tersebut kita dapat melihat bahwa pergeseran di ranah kebanggaan
akan pengakuan di dunia
nyata kian beranjak trendnya ke ranah sosial media
secara global. Di indonesia
sendiri selaku pengguna
jejaring sosial yang memang termasuk ke dalam
jajaran pengguna jejaring sosial terbesar di dunia pun, mengalami hal yang
serupa. Tak hanya
sekedar mereka yang berusia remaja saja, namun
“kegirangan” adu jago
like di sosial media pun melanda mereka yang berada pada fase usia paruh baya ataupun senja.
Orang melakukan reportase berita pun
saat ini tak
hanya sekedar ingin di lihat
pemberitaannya, namun hal itu
akan selalu saja di iringi pula harapan untuk di berikan
jangkar like sebanyak mungkin.
Di negara indonesia khususnya ajang balap
popularitas melalui like pun, saat ini kian
booming mengalahkan sirkuit F1 dengan
duta bangsa Rio
Haryanto. Ajang kontes selfie komersil, hingga ajang
foto alay tak jarang
bertebaran di branda
facebook maupun instagram dan path. Hingga terkadang
memuakkan para netizen yang kebetulan berkunjung di waktu luangnya. Tak terkecuali
hasrat seperti ini dialami
oleh penulis sendiri.
Fenomena adu like di
dalam jejaring sosial akhirnya
cerdik dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk numpang
promosi. Bertajuk hadiah makan siang
gratis atau bagi-bagi
gadget pun di lakukan dengan syarat memberikan like dan hastag
bagi usahanya. Dukun kecantikan,
Tukang Soto, juragan
ayam online, hingga komunitas berbau politik pun memanfaatkannya.
Kita mungkin dapat memakluminya, karena memang pertumbuhan
jumlah netizen yang makin lama,
kian meningkat keberadaannya. Di indonesia
saja menurut data yang
telah dirilis oleh kemenkominfo
pada tanggal 7 November
2013 yang lalu, bahkan sudah
mencapai angka 63 juta
orang pengguna dan 95%
pengguna internet tersebut melakukan akses sosial media.
Dari data tersebut maka tak heran jika kebiasaan
untuk eksis di sosial
media tak dapat
terhindarkan. Terlebih lagi dalam aplikasi
sosial media selain menyediakan
fasilitas like terdapat
pula fasilitas untuk berkomentar.
Semakin banyak like
disertai dengan komentar
(feedback) maka semakin
berbahagialah sang pelaku “posting”.
Pagi-pagi ngetwit, lagi makan
komentar, sebelum ibadah sholat
shunnah pasang status,
mau otw pasar
minggu, posting selfie. Layaknya dunia saat ini tak
akan hidup jika tak memperlihatkan kesibukan di sosial
media. Yang lebih miris lagi saat
ini pola-pola eksistensi aktivitas sosial layaknya hal bernilai (sedekah) pun di umbar di dunia
sosial media. Tak lupa pula bendera organisasi pun di kibarkan demi memberi
tahu bahwa organisasi tersebut telah melaksanakan “sedekah kebaikan” sehingga harus dikenang oleh ummat
manusia. Padahal sebaik-baiknya sedekah akan lebih membawa berkah apabila tangan kanan memberi
sedekah maka tangan
kiri tak boleh untuk
tau (sebuah perumpamaan dalam hadist
riwayat imam muslim).
Era berbangga diri dalam naungan
like memang tak
ada yang salah,
bahkan kecendrungan setiap manusia di era “jajahan” sosial media ini akan muncul dengan
sendirinya. Namun yang
perlu kita ingat adalah
ada baiknya kita menjaga untuk tidak
ekstrim untuk mendapatkan
like di sosial
media. Nilai-nilai moral harus
tetap dijaga, jangan sampai ajang hura-hura, pergaulan LGBT hingga
pornografi di umbar
pula. Karena bangsa indonesia tanpa sensasional
belaka pun sudah
di like oleh
mata dunia karena keelokan alam dan
penduduknya.
Penulis
Muhamad Fadhol Tamimy
Kolumnis Psikoma sekaligus founder lautan psikologi
Gue dah lama ga mainan facebook, ya lama-lama ngebosenin aja. Salah-satunya karena pada pasang poto2 alay ahahahakkk...
ReplyDeletehehehe banyak ya memang di sekitr kita :)
ReplyDelete