Mungkin gangguan
paranoid merupakan sebuah gangguan yang tergolong ke dalam gangguan kepribadian
dimana para penderitanya mengalami ketakutan yang amat kronis atau sensitive terhadap sebuah kejadian yang
mereka anggap mengancam dirinya atau kritik yang dialamatkan padanya baik itu
nyata ataupun tidak nyata.
Dalam DSM-IV-TR
sedikitnya terdapat empat ataupun lebih ciri seperti kecurigaan yang sifatnya
pervasive yang mana mereka meyakini bahwa mereka akan di celakai, dikhianati,
atau dieksploitasi. Yang kedua adalah keraguan yang tidak berdasar pada
kesetiaan reakan atau enggan untuk mempercayai orang lain, mendendam atas
beragam hal yang dianggapnya salah, reaksi berupa kemarahan dan lain
sebagainya.
Dalam obrolan
masyarakat mungkin kata paranoid tak mesti selalu di cirikan dengan sebuah
gangguan psikologis berat, namun paranoid menjadi sebuah candaan yang mana hal
tersebut biasanya di alamatkan pada mereka yang tiba-tiba “grasak-grusuk”
menyikapi permasalahan dan lain hal.
Kehidupan saat ini memang
penuh dengan candaan, dan mungkin saja ia hadir dikarenakan rasa resah akibat
ketidakpastian biaya kehidupan. Boro-boro mikirin investasi saham untuk
kedepan, lah wong mikirin “mahar” buat mas kawin saja apa kabar. Mohon bersabar
ya kamu, iyaaa kamuuu eciyeee penulis jadi malu tiba-tiba.
Pernah sutu ketika saya
mengalami hal serupa, tepatnya saat masih aktif menjadi seorang mahasiswa.
Tugas begitu banyaknya, namun tak satupun saya mengerti tugas yang di maksud
hingga detik-detik akhir pengumpulan. Begadang semalaman pun rasanya mustahil
untuk dapat terselesaikan. Mungkin saat
itu jika ada yang menantang adu jaga lilin di malam hari, maka sayalah
pemenangnya. Betapa tidak, di tengah malam tersebut silih berganti saya
“ngerusuhi” teman-teman yang sekiranya dapat dijadikan sebagai malaikat
penolong. dan saat itulah saya merasa nasib nilai saya akan hancur
berkeping-keping bagai hati yang ditolak calon mertua. Aduhh syakitnyaaa… dan
saya merasa, saya paranoid akibatnya.
Keparanoid-tan yang
terjadi pada diri saya sebenarnya dapat kita telisik secara mendalam di berbagai
kesempatan, yang mana kejadian tersebut sama persis, yaitu ketakutan secara
berlebihan jika mendapatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan. Kita bisa
melihat saat antri sembako murah, pembagian zakat, dan mungkin saja berebut
tanda tangan artis korea. Yaitu rasa takut dan merasa terancam jika tidak
kebagian giliran. Sunggu sedih bin ironi bukan? Hingga buang hajat di toilet
umum pun terkadang masih saja ada oknum yang berebut, yassalamm.
Refleksi dari keadaan
paranoid ini juga tercermin dalam sekala kepemimpinan era orba, dimana banyak
sekali para aktivis yang dituduh hendak berbuat makar. Segala aktivitas yang
berbau kritikan langsung trabas untuk di bungkam. Banyak pula penculikan para
aktivis yang sampai sekarang pun tak diketahui rimba keberadaannya. Dan aksi
paling mencolok yang terjadi adalah saat terjadinya peristiwa semanggi yang
memakan korban.
Dan ketakutan yang
cenderung paranoid itu pun saat ini terindikasi bangkit kembali. Ya
keparanoid-an dari sebuah rezim yang dahulu mencitrakan diri sebagai figure
santun dan merakyat. Pokoke pro wong cilik lah. Sebuah figure yang dahulu
sempat membuat simpati, terlebih saat janji mobil esemka menebar membuat asa
bangsa untuk mandiri kian membumbung tinggi.
Rentetan kejadian 411,
212, hingga terakhir yang di gerakakn oleh adik-adik mahasiswa semakin
mengindikasikan, bahwa bangsa ini tengah di landa ketidakstabilan psikologis,
atau lebih tepatnya paranoid situasi.
Pola paranoid itu tercermin
dalam kritik yang saat ini selalu dikaitkan dengan isu makar oleh pemerintah,
penggulingan kekuasaan, pembangkangan, dan yang terbaru pembungkaman
suara-suara yang di anggap mengancam. Pembredelan situs-situs kritis
menyuarakan keresahan dianggap sebagai situs “sarang hoax” dan lain sebagainya.
Gerakan-gerakan
mahasiswa pun di bungkan dengan melakukan sekenario pengkondisian.
Pengkondisian tersebut dilakukan dengan bermacam-macam cara, mulai dari yang
halus hingga yang agak menakutkan. Hari ini saya mendapat kabar, bahwa sebelum
aksi berlangsung adik-adik yang notabenenya adalah ketua lembaga, tak sedikit
yang di “ciduk” sementara atau di introgasi yang mana harapannya dapat
melemahkan dan membungkam suara-suara kritis dari para agen perubahan.
Tak kalah
mencengangkan, manakala di depan mata saya sendiri akhrinya penyuaraan aspirasi
yang sejatinya berjalan damai, tiba-tiba di hadiahi tembakan gas air mata.
Miris sekali rasanya melihat itu semua, saat aparatur negara yang semestinya
melindungi rakyat, justru menjadi simbol garda terdepan pagar-pagar penguasa.
Dengan alasan yang sama dan isu yang sama, bahwa aksi adik-adik mahasiswa
merupakan aksi yang di tunggangi para elit politis dan berpotensi makar.
Kondisi ini tentu tidak
sehat bagi keutuhan negeri yang menjunjung tinggi sistem demokrasi dengan pedomannya
pancasila. Mungkin saya tak memiliki kapasitas jika berbicara hukum dan
undang-undang karena memang toh background saya bukan hukum, melainkan
psikologi. Namun Silahkan di telisik sendiri undang-undangnya, apakah
menyuarakan pendapat itu dilarang dalam undang-undang? Apakah ekonomi saat ini
sudah pro rakyat? Apakah sudah terimplementasi pengelolaan sumber daya alam
yang sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat? Silahkan untuk bersama mengkajinya
lagi.. atau biar lebih sedap sambil berdiskusi dan membaca artikel ini di
selipi dengan membeli cabai, dan mengurus STNK, di jamin maknyuss.
Mungkin kita lelah
dengan semua ini, kita pun jengah dengan dinamika yang bergejolak tak
berkesudahan saat ini. Selalu saja di bingungkan dengan kondisi, dimana di
media “sebelah mainstream” kebaikan dicitrakan berlebihan, namun realita tak
sesuai dengan harapan. Mohon bersabar ini ujian.
Jika saja virus
paranoid para elit mampu di sembuhkan, tentu gejolak negeri ini tak lagi nikmat
di santap oleh segelintir orang yang menginginkan bangsa ini koyak. Begitu pula
dengan rakyatnya. Ini semua sebenarnya dapat disembuhkan dengan menumbuhkan
rasa saling percayaan. Dan ini tentunya tidak dapat hadir secara “ujug-ujug” di
tengah kita. Perlu proses dan keikhlasan di antara keduanya. Rela mendengar
keluhan adalah kunci kesuksesan, yang tak semua pemimpin sabar dalam
mengaplikasikan. Jaya indonesiaku, merdeka bangsaku
Muhamad Fadhol Tamimy
Penulis adalah founder Lautanpsikologi
No comments:
Post a Comment