Setelah menjalani hari dan bulan
yang penuh ujian, saatnya kita kembali kepada sang fitri atau fitrah. Segala
bentuk kegiatan saling memaafkan pun tak jua surut ditebar secara offline
maupun online. Mencoba untuk melihat ke belakang atau flashback tentu ada
hal-hal yang menjadi catatan penulis tentang bulan suci Ramadhan saat ini.
Terlebih ibadah perayaan Ramadhannya para generasi Millenial yang kerap
membubuhkan intrik tersendiri.
Bulan suci ramadhan merupakan
momen yang dirasa tepat untuk melakukan momen-momen peribadatan, berbagi kepada
sesama, hingga makan-makan bersama yang di balut dalam acara bukber. Secara
kredit saya menjadi sangat apresiatif dalam penyelenggaraan acara-acara bukber
ini.
Selain untuk mempererat
silaturrahmi, dalam acara bukber ini terkadang juga menjadi sebuah makna
kebersamaan yang mana setiap insan membutuhkannya. Namanya juga makhluk sosial.
Dalam acara bukber juga
terkandung unsur persaingan sosial lain yang mana setiap orang yang mampu
menampilkan citra terbaiknya, akan dianggap sebagai sukses di kalangan
kelompoknya. Pengertian sukses di kalangan kelompok ini, mengacu kepada bukber
yang seringkali dilakukan adalah ketika sesoerang telah lulus dalam skup
pendidikan tertentu, kelompok tertentu, ataupun alumnus di acara tertentu.
Tak ayal selain membicarakan
nostalgia lama, hingga cinta lama yang bersemi kembali pun di umbar dengan
santainya, yang terkadang tidak melihat batas kewajaran dari orang yang di
bicarakan. Sakit hati ataukah tidak. Persaingan yang dilakukan selain memperlihatkan
citra kesuksesan juga terkadang ada sebuah unsur persaingan dalam mengambil
alih pembicaraan. Belum selesai individu satu membicarakan tentang dirinya,
dipotong langsung dengan individu lainnya yang menceritakan tentang
kesuksesannya.
Pokoknya tentang aku. Jika
membicarakan tentang aib ataupun kejelekan cukup membicarakan orang lain saja.
Karena hal itu lebih membuat bahagia dan tidak mengikis pencitraan yang telah
di bangun di awal tadi. Hingga pada suatu waktu, mereka pun lupa waktu bahwa
adzan maghrib yang menjadi inti kewajiban sebagai umat muslim terabaikan.
Dalam prespektif persaingan
diantara kelompok peserta bukber, terselip pula acara persaingan tenar di media
sosial. Tentu saja, persaingan ini terletak pada persaingan memperebutkan citra
kaya raya, hidup bahagia, di kalangan para pengguna media sosial. Jepret
sana-jepret sini sembari mencari view restoran dan makanan terbaik agar sedap
bikin iri yang melihatnya. Duh enaknyooo.
Adab dan kebiasaan makan yang
seharusnya dilakukan atau di awali dengan berdoa pun terlewatkan demi selfie
bareng ceman-ceman. “sayang nih setahun
sekali kita bisanya gini”.
Embel-embel mumpung dan sayang
pun terdahului mendahului berdoa sebelum makan guna mencari keberkahan. Asal
mendapatkan like banyak jika di posting nanti hal tersebut sudah cukup sebagai
sebuah berkah membatalkan puasa. Jika berbuka kita diutamakan untuk berbuka dengan
yang manis, saat ini kondisinya mulai berbeda, dimana berbuka dengan yang laris
(laris like foto maksudnya) lebih utama.
Sejatinya kondisi berpuasa,
adalah sebagai sebuah pelajaran untuk menumbuhkan kepekaan, sensitivitas, dan
keprihatinan bersama. Saat kita upload foto makan-makanan mewah di instagram,
bahwa masih banyak orang yang mengalami kesusahan. Boro-boro makan tempat
mewah, lah makan nasi bungkus aja kagak gablek.
Pasca bulan ramadhan seperti ini
yuk mari kembali kefitri. Ibadah puasa selama sebulan yang kita lalui semoga
mampu meningkatkan kualitas kita sebagai makhluk sosial, sekaligus sebagai
makhluk yang beriman dan bertaqwa. Minal Aidzin Wal Fa ‘Idzin Mohon Maaf Lahir
Batin.
No comments:
Post a Comment