Sumber: pixabay |
Kian berkembangnya
media sosial saat ini merubah sendi kehidupan dalam bersosialisasi menjadi hal
yang menarik untuk disimak. Pasalnya ia tidak hanya berbicara tentang kemajuan
zaman semata, akan tetapi juga berkaitan dengan pola perilaku dan juga kondisi
psikologis para penggunanya.
Hal ini menjadi semakin
menarik, lantaran indonesia menjadi salah satu pengguna media sosial terbesar
di dunia. Berbagai platform media sosial seperti facebook, instagram, twitter,
snapcat berada di top 10 besar dunia yang para penggunanya berasal dari indonesia.
Maka tak mengherankan apabila indonesia menjadi salah satu negara tujuan para
pengembang media sosial untuk dijadikan target market saat ini.
Suatu kali penulis
datang pada acara perpisahan peserta pelatihan yang diadakan badan diklat.
untuk bertemu dengan sahabat di sebuah caffe. Perpisahan tersebut diadakan
dengan tujuan agar mempererat tali persaudaraan hingga saling terhubung setelah
selesai pelatihan nanti.
Pada saat bertemu tak
lama satu persatu mulai memegang ponsel satu persatu. Dari dan ajaibnya 5 dari
8 orang membuka akun facebook dan instagram mereka. Sementara yang lainnya
membalas pesan WA dan membuka platform e-commerece.
Pemandangan yang saat
ini lazim terjadi, dimana satu dengan yang lain saling terkoneksi dengan
dunianya masing-masing akan tetapi minim atensi orang yang ada di sampingnya.
Pun dengan kondisi keluarga masyarakat millennial saat ini.
Dampak
Postingan Di Media Sosial
Keluarga yang melek
teknologi namun cendrung jarang bertegur sapa antara satu dengan yang lain.
Mungkin mereka duduk bersama, akan tetapi tak lagi saling memperhatikan satu
dengan yang lainnya. Mendekat untuk menjauh, dan menjauh untuk mendekat.
Barangkali itulah kondisi dan gambaran kehidupan rakyat di era Industri 4.0
masa kini.
Posting yang berfaedah
maupun yang kurang berfaedah pun acapkali menghiasi timeline yang riuh gempita
di media sosial. Mulai dari aktivitas sehari-hari hingga permasalahan problem
rumah tangga pun tak sungkan untuk di posting hingga mengundang perdebatan para
netizen yang cendrung maha benar.
Simbol privasi dan non
privasi pun tak lagi memiliki batasan yang jelas. Ia menjadi tipis, seperti
tempe setipis ATM. Para ibu maupun ayah berbondong-bondong menjadikan putra dan
putrinya menjadi konsumsi umum dengan harapan anaknya kelak menjadi seorang
selebgram terkenal. Banyak followers, terkenal, endorse datang dan ujung-ujungnya
gelimangan uang mulai dirasakan.
Belum lagi beberapa
pasangan yang baru saja menikah, dengan santainya mengumbar foto sedikit vulgar
tak langsung dimana salah satu pasangannya tak mengenakan pakaian lengkap
menutup aurat. Semuanya menyatu dalam satu fenomena posting aktivitas diri di
media sosial.
Sedikit sedikit
posting, tidak enak hati posting, mengungkapkan cinta posting, bahkan menagih
hutang dan melabrak pelakor pun posting. Posting di media sosial seakan menjadi
oase obat mujarab di tengah keacuhan kita saat ini.
Ancaman
Psikologis Dari Aktifitas Media Sosial
Seyogyanya segala
tindak tanduk aktivitas yang kita lakukan tidak bermasalah selama hal tersebut
tidak mengganggu norma sosial, dan agama. Akan tetapi segala sesuatu yang
dilakukan dengan cara yang berlebihan pada akhirnya akan mengundang keburukan.
Penting bagi kita untuk mempertimbangkan beragam dampak yang akan timbul dari
aktivitas yang kita lakukan.
Dampak buruk tersebut
mulai dari aspek psikologis maupun kesehatan. Mereka yang terlalu aktif di
media sosial akan memicu munculnya sikap apatis dan juga kebingungan realita.
Kebingungan realita dalam artian, ia tak mampu untuk mengekspresikan apa yang
dirasakan di dunia nyata.
Bahkan kebahagiaan yang
ia kejar dari seberapa banyaknya feedback balik berupa like, komen, maupun
share akan membuat mereka terobsesi untuk memposting terus menerus sampai
jumlah feedback sesuai yang mereka harapkan.
Terganggunnya masalah
psikologis yang dirasakan pada akhirnya juga berimbas pada kesehatan yang
mereka miliki. Diantarnya bagi mereka yang terus menerus merasa stres akibat
feedback yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan yang mereka inginkan
membuat sistem imun mereka menurun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
isnarni dan sulistiyani (2010) dalam jurnal Stomatognatic (J.K.G. Unej) Vol. 7
No. 3 2010 : 45-48 menunjukkan bahwasanya keadaan stres yang dirasakan dapat
menurunkan respon imun terhadap mikoorganisme sehingga seorang individu mudah
terkena stres.
Stres tersebut
barangkali akan semakin terasa manakala kondisi keuangan yang tengah mengalami
paceklik. Lihat mereka yang memposting sesuatu yang kita inginkan pada akhirnya
menjadikan kita merasa sebal, kesal, dan merasa tak berdaya akibat tidak adanya
dana maupun biaya untuk memenuhinya. Pun begitu pula akan semakin lengkap
rasanya jika quota pun dalam kondisi kritis sementara uang untuk membeli
tambahan quota tak ada.
Mengembalikan
Fitrah Bangsa
Bangsa indonesia
acapkali di kenal dengan negara dengan keramah tamahnya. Dengan adat budaya
ketimuran yang tinggi, toleransi menjadi patokan utama dalam berinteraksi antara
satu dengan yang lainnya. Menengok kondisi tersebut sejatinya kita tentu
merindukan sebuah rasa respek dalam berinteraksi dan berkomunikasi itu muncul.
Tidak terganggu layar gadget dan juga kegilaan update status.
Kemunculan media sosial
dahulu memiliki tujuan yang mulia. Mendekatkan yang jauh dan memutus
keterbatasan waktu untuk saling terkoneksi. Bukan untuk menjauhkan yang dekat
dan membuat diri merasa sendiri di tengah keramaian. Semoga kita dapat menjadi
insan yang manusiawi dengan interaksi pada sesama dengan rasa respek yang
tinggi.
Membagikan
sesuatu yang kita senangi mungkin memiliki arti bagi diri, entah itu arti
membangun maupun mengekspresikan semua yang dirasakan hati. Namun adakalanya
membagikan menjadi boomerang manakala apa yang kita bagikan justru mengganggu
orang lain. Oleh karenanya bijaklah dalam membagikan sesuatu, terlebih di dunia
yang mulai berkembang para netizen yang acapkali merasa maha benar.
No comments:
Post a Comment