Setiap momen kejadian, dan setiap kejadian akan selalu memiliki hikmah di dalamnya. Salah satu hikmah adalah dua tokoh dengan dua gaya berbeda dalam menyampaikan keilmuan yang acapkali dianggap berbeda tata cara penerjemahan sebuah amalan.
Jadi ingat dahulu saat masa masih menimba ilmu di Pondok
Pesantren Darusa'adah Samarinda, dimana suatu kali pelajaran mengenai perbedaan
dan ijtihad kalau tidak salah di pelajaran Fiqih atau tarikh begitu. Agak lupa begitu ya karena sudah agak lama, sekitar tahun 2005 :D. Dahulu pada masa Rasulullah pernah terjadi perbedaan pendapat
mengenai waktu sholat ashar.
Peristiwa tersebut terjadi di perkampungan Bani Quraidhah,
Saat itu para sahabat nabi terpecah menjadi dua. Sebagian sahabat melakukan
shalat Ashar di perkampungan tersebut meskipun telah lewat Maghrib. Mereka
melakukannya berdasarkan sabda nabi yang berbunyi:"Janganlah kalian Shalat
Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah."
Sementara, sebagaian sahabat lainnya memandang tidak boleh
melakukan shalat Ashar setelah lewat waktu Maghrib. Lalu, bagaimana Nabi
menyikapi adanya dua perbedaan pendangan tersebut?
Ternyata nabi tidak menyalahkan kelompok manapun karena kedua
kelompok tersebut telah melakukan ijtihad dan taat terhadap perintah Allah.
Mereka hanya berbeda dalam meemahami teks sabda nabi.
Artinya perbedaan tersebut memang sudah sunatulla ada
semenjak dahulu kala. Dan ini pun terjadi dengan metode salah satu tokoh dalam
menyampaikan pengajaran dan di sebarkan lewat media sosial, Gus miftah yang
identik dengan NU nya dan Ustadz Khalid dengan Salafinya.
Perbedaan ini sejatinya adalah keindahan, toh tujuannya sama,
dan mereka pun telah berijtihad sesuai dengan pemahaman mereka. Sangat senang
melihat kebersamaan ini, seakan ada asa bahwa perbedaan sudut pandang bukan
menjadi penghalang persatuan. Justru perbedaan sudut pandang akan membawa kita
lebih dewasa dan menambah khasanah keilmuan sebuah tata cara amaliah
peribadatan.
Memang jika salah satu atau antar murid agak baper, itu juga wajar jikalau penjelasan salah satu guru dirasa menyindir tata cara guru yang lainnya. Siapa sih yang suka jika guru yang dijadikan role model, dan diambil ilmu daripadanya di salahakan atau bahkan di hina sekaligus di jadikan bahan tertawaan guru yang lainnya.
Celakanya, saat materi yang disampaikan di upload di media sosial lalu dibumbui caption cadas untuk menarik view dan di potong-potong sedemikain rupa. Terkhusus memotong bagian yang menjadi perbedaannya tanpa diikut sertakan penjelasan lainnya. Inilah yang menjadi racunnya yang membuat netizen terpancing untuk gelud online. Gelud online ini yang terjadi terus menerus, biasanya akan dicarikan hujjah bantahan untuk mematahkan pendapat lainnya, hingga makin panaslah perselisihan antar simpatisannya.
Perbedaan sudut pandang yang sejatinya adalah hal biasa, akhirnya dipandang sebagai suatu yang tidak lagi menjadi perbedaan cara saja, ia bertransformasi menjadi pertentangan yang harus segera dilawan keberadannya. Karena ya itu tadi, bumbu media sosial yang diviralkan oleh para netizen yang bisa jadi salah satu diantaranya adalah para murid dari antar guru yang saling berbeda pandangan tadi.
Yang pasti adalah memang sudah fitrahnya jika manusia itu tidak suka disalahakan, dan suka untuk dibenarkan. Itu telah menjadi sunatullah semenjak dahulu kala. Oleh karena itu, momen bertemunya ustdz khalid basalamah dan Gus miftah ini bisa menjadi angin sejuk bersatunya umat islam, khususnya di Indonesia. Karena dua tokoh yang terkadang berbeda ijtihad telah adem ayem saling memaafkan.
Dan momen ini semoga menjadi ajang persatuan umat, sekaligus menjadi momen simbol perekat ukhuwah untuk damainya Bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment